Aku memang menjadi wadah tempatnya bercerita tentang banyak
hal. Aku selalu mengambil peran “mendengarkan” bahkan terkadang kali aku bisa
menyaksikannya sekaligus. Melihatnya menangis tersedu-sedu. Entah tau darimana
hal itu timbul dari makna perasaan apa aku selalu menagihnya cerita keseharianya
walaupun itu kadang menjadi risiko pedih untukku sendiri, ketika ia bersedih. Tapi
aku nyaman, dia tak pernah ragu atau malu untuk bercerita – cerita yang
layaknya menjadi bincangan rahasia antara wanita – yang buatku aku diam tak
menyela. Mengilhaminya. Notasi tiap lisan kata-katanya seperti ia sedang ON AIR
di radio, aku menyukai cara berbicaranya yang deskriptif. Hampir tak pernah
berjeda, sekalipun berjeda hanya menghela nafas dan melanjutkannya dengan
sedikit memainkan nada drama di ucapan-ucapannya. Sampai sesekali ia
menghubungi teleponku dengan sesenggukan. Ia mengoceh tanpa tau arah ceritanya
itu harus berawal dan berakhir dimana. Aku diam lalu mengambil peran pembicara,
memang tak seperti biasanya. Bukan ingin mengkritik suara yang tenggelam dalam
isak tangisnya. Aku terpukul dengan tangis itu. Begitu mengena pada batin, ia
mustahil tak terluka kalau sampai sekeras ini tangisnya. Andai aku bisa, ingin
aku cegah penyebab air mata yang menggores pipinya. Walau memang itu tak
mungkin karna telah terjadi, tapi masih sangat mungkin untuk aku mengembalikan
senyumannya. Itu pertama kalinya aku mendengarnya menangis dan sudah buat aku
benci untuk mendengarnya lagi. Rasanya hampir kehilangan nada suaranya yang
santai, menggoda dan berkesan drama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar