Agustus 14, 2013

Wadah (draft#01)


Aku memang menjadi wadah tempatnya bercerita tentang banyak hal. Aku selalu mengambil peran “mendengarkan” bahkan terkadang kali aku bisa menyaksikannya sekaligus. Melihatnya menangis tersedu-sedu. Entah tau darimana hal itu timbul dari makna perasaan apa aku selalu menagihnya cerita keseharianya walaupun itu kadang menjadi risiko pedih untukku sendiri, ketika ia bersedih. Tapi aku nyaman, dia tak pernah ragu atau malu untuk bercerita – cerita yang layaknya menjadi bincangan rahasia antara wanita – yang buatku aku diam tak menyela. Mengilhaminya. Notasi tiap lisan kata-katanya seperti ia sedang ON AIR di radio, aku menyukai cara berbicaranya yang deskriptif. Hampir tak pernah berjeda, sekalipun berjeda hanya menghela nafas dan melanjutkannya dengan sedikit memainkan nada drama di ucapan-ucapannya. Sampai sesekali ia menghubungi teleponku dengan sesenggukan. Ia mengoceh tanpa tau arah ceritanya itu harus berawal dan berakhir dimana. Aku diam lalu mengambil peran pembicara, memang tak seperti biasanya. Bukan ingin mengkritik suara yang tenggelam dalam isak tangisnya. Aku terpukul dengan tangis itu. Begitu mengena pada batin, ia mustahil tak terluka kalau sampai sekeras ini tangisnya. Andai aku bisa, ingin aku cegah penyebab air mata yang menggores pipinya. Walau memang itu tak mungkin karna telah terjadi, tapi masih sangat mungkin untuk aku mengembalikan senyumannya. Itu pertama kalinya aku mendengarnya menangis dan sudah buat aku benci untuk mendengarnya lagi. Rasanya hampir kehilangan nada suaranya yang santai, menggoda dan berkesan drama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar